SELAYANG PANDANG: DEMOKRASI PANCASILA
PADA 1975, lembaga nonpemerintah bernama The Trilateral Commission memublikasikan sebuah laporan berjudul The Crisis of Democracy. Laporan itu mengemukakan bagaimana demokrasi di Amerika Utara, Jepang, dan Eropa Barat kehilangan kemampuan untuk merealisasikan tujuan sosial atau kolektif. Pemerintahan menjadi tidak efektif dan politik demokrasi menjadi sekadar arena untuk kontestasi kepentingan.
Lenyapnya kemampuan tersebut disebabkan demokrasi itu
sendiri dan bukan sesuatu yang lain. Laporan The Trilateral Commission menunjuk
egalitarianisme dalam demokrasi sebagai penyebab utama kelumpuhan publik.
Egalitarianisme sudah mendelegitimasi otoritas institusi-institusi sosial
(keluarga, gereja, sekolah, dan militer) selaku institusi yang menanamkan
kepekaan terhadap komunitas dan rasa hormat terhadap kepemimpinan. Sementara
itu, akses demokratis yang dimiliki sejumlah besar pemilik kepentingan khusus membuat
agregasi kepentingan menjadi sesuatu yang mustahil.
Demokrasi
Laporan The Trilateral Commission benar ketika mengatakan
bahwa egalitarianisme adalah sumber 'kelumpuhan publik' demokrasi. Namun,
laporan itu keliru ketika menyebut bahwa egalitarianisme adalah prinsip yang
secara internal tertanam dalam demokrasi. Prinsip egalitarianisme bersumber
dari ideologi politik modern bernama liberalisme. Ideologi ini lahir lebih dari
2.000 tahun setelah demokrasi.
Sementara itu, demokrasi dilahirkan oleh rahim pikiran
dan sejarah Yunani Kuno. Demokrasi pada masa Yunani Kuno, khususnya di Athena,
tidak mengenal egalitarianisme. Demokrasi Athena hanya mengenal demos atau
warga sebagai konsep yang polemical. Berbicara mengenai demos berarti
mengingkari secara total oposisinya, yaitu non-demos. Demokrasi memiliki
geografinya sendiri.
Kesetaraan liberal-kemanusiaan tidak dapat menjadi basis
bagi berdirinya sebuah negara. Sebuah negara memiliki substansi yang memilah
warga negara berdasarkan partisipasi pada substansi tersebut. Di sini demokrasi
dan liberalisme berseberangan. Demokrasi dan liberalisme saling menegasikan.
Kesetaraan liberal tidak membedakan mana warga dan mana yang bukan. Sementara
itu, kesetaraan demokratis membedakan mana yang termasuk bagian demos dan mana
yang bukan. Demos bukan semata batas teritorial, melainkan juga batas politik
yang mengecualikan.
Demokrasi dan kewargaan sungguh tak dapat dipisahkan.
Warga negara mendapat hak yang setara bukan melalui partisipasi dalam gagasan
abstrak kemanusiaan. Warga negara memperoleh hak yang setara melalui
partisipasinya dalam demos sebagai substansi politik. Warga negara adalah nama
lain dari rakyat. Dengan kata lain, konsep sentral dalam demokrasi bukan
kemanusiaan, melainkan rakyat. Dalam arena politik, rakyat tidak berhadapan
satu sama lain sebagai abstraksi, tetapi individu politis, pemerintah atau yang
diperintah, dan sekutu atau oposisi.
Demokrasi adalah sebuah ruang dengan batas-batas yang
jelas. Penghuninya bukan manusia universal, melainkan warga negara sebagai
subjek politik. Sebagai subjek politik, warga negara diukur berdasarkan
partisipasinya pada substansi yang dikunci rapat dalam konstitusi. Oleh sebab
itu, konstitusi harus senantiasa dijaga dari segenap upaya merombak substansi
yang merupakan hasil aksi politik pendiri bangsa. Apabila substansi tersebut
diubah kita tidak lagi hidup di dalam demokrasi, tetapi sejenis liberalisme.
Akibatnya, kita akan kehilangan konsep warga negara dan negara sekaligus.
Konsep warga negara (citizen) dibicangkan sejak masa
Yunani Kuno. Konsep tersebut, misalnya, ditemukan dalam filsafat politik
Aristoteles. Aristoteles menolak pandangan Cynics bahwa orang bijak adalah
cukup pada dirinya dan seharusnya menjadi warga dunia bukan negara. Warga
negara bagi Aristoteles bukan genus, melainkan spesies. Sebagai spesies warga
negara mesti didefinisikan secara khusus dan terbatas. Aristoteles pun
bertanya, "Apa artinya menjadi warga negara?" Jawaban terhadap
pertanyaan tersebut bertolak dari penggunaan sehari-hari kata 'warganegara'.
Warga negara bagi Aristoteles adalah sebuah kualifikasi
politik yang mengecualikan. Aristoteles, misalnya, mengecualikan budak dari
gagasannya mengenai warga negara. Aristoteles mengemukakan dua alasan bagi
pengecualian tersebut. Pertama, budak kekurangan waktu luang yang penting bagi
deliberasi publik. Deliberasi publik memerlukan jeda bagi permenungan dan
refleksi, sedangkan waktu budak habis diimpit kerja mekanis. Kedua, kerja
mekanis membekukan jiwa dan membuatnya tidak siap untuk menerima keutamaan.
Terlepas dari kekurangan atau kelemahan dalam pengecualian itu, Aristoteles
memulai sebuah gagasan tentang warga negara sebagai sesuatu yang terbatas dan
substansial. Warga negara sebagai kekhususan dan bukan universalitas.
Hal yang sama juga diyakini para pendiri bangsa Republik
ini. Sila keempat Pancasila mengajarkan bahwa demokrasi Republik ini
berlandaskan pada pemufakatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan. Apa
artinya itu? Para pendiri bangsa yakin bahwa melalui deliberasi publik, mufakat
atau konsensus dapat dicapai. Oleh karena itu, kebijaksanaan menjadi syarat
mutlak bagi pencapaian mufakat. Warga negara bukanlah subjek yang berkeras
dengan preferensinya masing-masing dan malas untuk mengendorkan egoisme
politiknya. Warga negara adalah mereka yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
demi pemufakatan. Dalam literatur teori demokrasi yang berseberangan dengan
demokrasi liberal, hikmah kebijaksanaan disebut sebagai civic virtues. Dengan
kata lain, warga negara adalah sebuah kualifikasi khusus bukan manusia pada
umumnya.
Demokrasi membutuhkan semacam keutamaan publik sebagai
syarat dicapainya mufakat. Sementara itu, liberalisme bersandar pada otonomi
individu dalam menentukan keutamaan atau kebaikan masing-masing. Michael Sandel
menyebut posisi liberal tersebut sebagai 'proseduralisme liberal'.
Proseduralisme liberal adalah prinsip yang memprioritaskan hak ketimbang
kebaikan. Apabila terjadi konflik antara hak individu dan kebaikan, hak mesti
didahulukan. Individu memiliki hak yang tak dapat dirampas untuk memeriksa
berbagai rencana hidup yang mungkin dan menentukan sendiri mana yang akan
dijalaninya.
Sementara itu, mufakat membutuhkan keutamaan publik.
Apabila tiap-tiap individu berkeras dengan konsep kebaikannya masing-masing,
mufakat tidak akan tercapai. Proseduralisme liberal melupakan pentingnya
keutamaan publik yang dirawat dan diteruskan melalui dan dalam komunitas.
Sandel menjelaskan bagaimana Amerika telah kehilangan etos publik dan ikatan
antarwarga negara yang ditempa konsepsi bersama mengenai urusan publik (public
goods).
Pancasila
Dalam salah satu rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Soekarno mengingatkan dengan keras,
"Apa guna grondwet kalau ia tak dapat mengisi perut orang yang hendak mati
kelaparan, maka karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara
kita kepada paham kekeluargaan, paham tolong menolong, paham gotong royong dan
keadilan sosial, enyahkan tiap-tiap pikiran, tiap-tiap paham individualisme dan
liberalisme daripadanya." (Yamin, 1959).
Peringatan Soekarno itu kemudian mengkristal dalam pidato
legendaris beliau pada 1 Juni 1945. Dalam pidatonya, Soekarno menawarkan pada
sidang BPUPKI rumusannya mengenai dasar yang harusnya dijadikan pegangan hidup
berbangsa dan bernegara. Dasar itu adalah kebangsaan Indonesia,
perikemanusiaan, mufakat--atau demokrasi, kesejahteraan sosial dan ketuhanan.
Kelima prinsip tersebut dapat diperas menjadi tiga prinsip, yaitu kebangsaan
yang berperikemanusiaan (sosio-nasionalisme), demokrasi yang berkeadilan sosial
(sosio-demokrasi), dan ketuhanan yang berkebudayaan.
Ketiga prinsip itu berjiwakan nilai gotong royong sebagai
nilai yang tertanam dalam keadaban publik yang sudah ditempa selama puluhan
milenia di Tanah Pertiwi. Soekarno mengatakan, Gotong royong adalah paham yang
dinamis, lebih dinamis dari 'kekeluargaan', saudara-saudara! Kekeluargaan
adalah satu paham yang statis, tetapi gotong royong menggambarkan satu usaha,
satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang Soekardjo: satu karjo,
satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karjo, gawe, pekerjaan amal ini,
bersama-sama! Gotong-royong adalah pembanting tulang bersama, pemerasan
keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua bagi kepentingan
semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holupis-kuntul-baris buat
kepentingan semua! Itulah gotong royong! (Yamin, 1959)
Prinsip gotong royong bagi Soekarno adalah sesuatu yang
sangat penting untuk dibatinkan sebagai budaya politik. Di dalamnya terkandung
nilai toleransi, solidaritas, dan kesetiakawanan. Sosiolog Robert Putnam
menyebutnya modal sosial, Fukuyama menyebutnya kepercayaan (trust). Liberalisme
mengikis semua itu dengan menyamaratakan antara budaya politik dan persaingan
bebas ekonomi. Dalam persaingan, lawan politik dilihat sebagai kompetitor yang
harus selalu dicurigai, bukan mitra dialog dalam membincang segala urusan
publik (res publica). Idealisasi demokrasi Soekarno bukan demokrasi liberal
yang prosedural dan protektif terhadap hak individu, melainkan demokrasi
deliberatif yang mana egoisme dikikis dalam diskursus publik guna memajukan
urusan umum.
Perbincangan mengenai budaya politik akhirnya mengerucut
pada perbincangan mengenai format demokrasi Indonesia. Demokrasi Indonesia
tidak dibangun berdasarkan kesempatan yang sama, tetapi kemampuan yang sama.
Dua warga negara dapat saja memiliki kesempatan yang sama dalam sebuah proses
politik, tetapi batasan sosial-ekonomi membuat keduanya memiliki kemampuan yang
berbeda dalam berpolitik. Warga yang kurang beruntung akan mengalami hambatan
struktural dan kultural dalam berpartisipasi secara politik.
Petani miskin, misalnya, akan memilih untuk pergi ke
sawah ketimbang datang ke bilik suara untuk memilih. Buruh kasar yang tidak
memiliki akses pendidikan, akan kesulitan dalam mencerna informasi guna
memanfaatkan hak politiknya secara rasional. Mereka akan sekadar menjadi korban
politik pencitraan yang di belakangnya bersembunyi kekuatan modal.
Demokrasi Indonesia adalah demokrasi berkeadilan sosial
(sosio-demokrasi). Demokrasi yang bukan sekadar mengedepankan persamaan
kesempatan, melainkan juga kemampuan. Soekarno mengatakan, "Dalam alam
penyelenggaraan demokrasi: satu suara bagi tiap-tiap warganegara belum menjamin
keadilan di segala lapangan. Dan njata belum menjamin keadilan di lapangan
ekonomi." (Yamin, 1959).
Soekarno pun mengutip sosialis Fourrier, "Men kan de
hoonger van een bedelaar niet stillen door hem onze constitutie in de hand te
stoppen, orang tak dapat menghilangkan rasa lapar dalam perut seorang pengemis
dengan memberikan kepadanya kita punya kitab konstitusi."
Konstitusi kita sesungguhnya sudah mengunci rapat
prinsip-prinsip pokok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Muhammad Yamin
dalam bukunya Proklamasi dan Konstitusi (1958) menyebut tiga prinsip yang
menjadi pesan utama konstitusi; unitarisme, demokrasi, dan sosialisme. Unitarisme
diturunkan dari kalimat pembukaan UUD 1945 yang berbunyi 'Melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia'. Unitarisme adalah prinsip
yang menuntut politik dijalankan dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan
bukan kepentingan kelompok atau golongan.
Demokrasi diturunkan dari kalimat pembukaan UUD 1945 yang
berbunyi, 'Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan'. Politik, berdasarkan prinsip tersebut, harus
dijalani dalam bingkai gotong royong, bukan politik uang atau citra guna
mengedepankan kepentingan pribadi. Sosialisme diturunkan dari dua kalimat dalam
pembukaan UUD 1945. Kalimat pertama berbunyi, 'Memajukan kesejahteraan umum',
sedangkan kalimat kedua, 'Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia'.
Politik bukan kompetisi ekonomi untuk memperkaya
segelintir orang atau golongan. Politik sepenuhnya diabdikan pada kesejahteraan
umum dan keadilan sosial. Berpolitik yang semata meloloskan kepentingan
kelompok-kelompok ekonomi dominan tidak mendapat tempat dalam konstitusi.
Tujuan berpolitik adalah mencari jalan keluar bersama guna menciptakan
masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan sosial.
Akhirnya, ancaman paling besar bagi sebuah bangsa ialah
keroposnya nilai-nilai kolektif, modal sosial atau kepercayaan yang resiprokal.
Untuk itu, jalan kebudayaan harus ditempuh dengan menghidupkan kembali gotong
royong yang dipandu nilai-nilai kebangsaan, demokrasi, dan sosialisme. Gotong
royong harus dimulai sedari dini di semua ruang publik yang mungkin.
Ruang-ruang publik harus dibuka kembali, forum-forum rembuk perlu dihidupkan
mulai dari tingkat rukun tetangga sampai kelurahan.
Dengan demikian, nilai-nilai yang mendasari gotong
royong, seperti toleransi, solidaritas, dan kesetiakawanan dapat menjadi
pegangan publik. Warga negara pun menjadi subjek politik yang rasional dan
berinisiatif, bukan objek politik citra dan uang yang mengasingkan.
Belakangan kita lihat betapa syahwat kekuasaan
betul-betul sudah mengoyak kolektivitas kita sebagai bangsa. Segala cara
dihalalkan demi kekuasaan, pun ketika itu mengoyak persaudaraan kebangsaan
kita. Gotong royong seperti sirna di dalam cuaca politik sedemikian. Padahal,
tanpa gotong royong, demokrasi kita menjadi semata-mata 'perang semua melawan
semua'. Kita harus mengembalikan kepribadian 'gotong royong' atau 'Pancasila'
ke tubuh demokrasi kita. Bagaimana caranya? Jika negara diibaratkan mobil,
demokrasi ialah gas dan Pancasila rem-nya. Demokrasi memberikan berbagai
kebebasan bagi warga negara. Itu hal yang baik. Namun, Pancasila harus mampu
menghentikan kebebasan yang membahayakan kolektivitas kita. Di satu sisi,
demokrasi membebaskan kita untuk berpendapat apa saja. Di sisi lain, Pancasila
menghentikan berbagai ujaran yang memuat kebencian dan mampu meretakkan
persatuan Indonesia. Jika itu terjadi, demokrasi kita ialah demokrasi yang
berkepribadian. Demokrasi Pancasila.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
TUGAS PEMBELAJARAN PPKN KELAS XI (IPA/IPS)
Jawablah pertanyaan di bawah ini:
(1) Jelaskan menurut pendapatmu apa saja yang menjadi keunggulan dari Demokrasi Pancasila...!
(2) Jelaskan menurut pendapatmu apa saja yang menjadi tantangan bagi Demokrasi Pancasila dalam era globalisasi...!
(3) Sebagai insan Indonesia yang Pancasilais, apa yang harus kamu persiapkan untuk mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia yang unggul di masa depan...?
Silahkan kirimkan jawaban mu ke Nomor WA: 081369211307 (Pak Firman)
Atau bisa langsung isikan jawabanmu di kolom Komentar bawah ini...👇
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
TUGAS PEMBELAJARAN PPKN KELAS XI (IPA/IPS)
Jawablah pertanyaan di bawah ini:
(1) Jelaskan menurut pendapatmu apa saja yang menjadi keunggulan dari Demokrasi Pancasila...!
(2) Jelaskan menurut pendapatmu apa saja yang menjadi tantangan bagi Demokrasi Pancasila dalam era globalisasi...!
(3) Sebagai insan Indonesia yang Pancasilais, apa yang harus kamu persiapkan untuk mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia yang unggul di masa depan...?
Silahkan kirimkan jawaban mu ke Nomor WA: 081369211307 (Pak Firman)
Atau bisa langsung isikan jawabanmu di kolom Komentar bawah ini...👇
Komentar
Posting Komentar