PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN MUSLIM DALAM MASYARAKAT DAN SEBAGAI UMMAT
Abstrak
Masyarakat muslim yang memiliki kesamaan
akidah disebut Ummat, setiap individu muslim merupakan unsur penting dalam
kehidupan masyarakat, maka dengan membentuk kepribadian muslim yang memiliki
kesatuan pandangan hidup berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah diharapkan akan
mempengaruhi sikap dan perilaku hidupnya dalam masyarakat dan ummat. Islam memberikan tuntunan bagaimana muslim berinteraksi
dengan penciptanya, bagaimana berinteraksi dengan sesamanya, bagaimana
berinteraksi dengan alam dan lingkungannya. Tuntunan tersebut pada akhirnya
ditujukan untuk kemaslahatan dan kebaikan bagi pribadi muslim dan ummat Islam
itu sendiri.
Kata kunci: muslim, masyarakat, ummat.
1.
Pendahuluan
Islam sebagai sumber dan jalan kebenaran yang berasal dari
Allah ta’ala adalah pandangan hidup yang bukan saja diperuntukkan bagi
kesejahteraan dan kebahagiaan ummat Islam melainkan menjadi rahmat bagi seluruh
alam. Islam yang bersumber dari kebenaran ilahiyah baik yang terkandung dalam
ayat-ayat al Qur’an dan sunnah Rasulullah saw adalah petunjuk jalan segala
zaman. Demikian pula Islam mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, dengan
Tuhannya dan dengan alam lingkungannya.
Dakwah Islam yang di bawa oleh Rasulullah saw adalah mata
rantai terakhir dari perjalanan da’wah yang panjang untuk mengajak manusia
bertakwa dan mentauhidkan Allah ta’ala. Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya
Rasulullah saw bersabda:
Perumpamaanku dan nabi-nabi sebelumku
seperti seseorang yang membangun suatu rumah lalu dia membaguskannya dan
memperindahnya kecuali ada satu labinah (tempat lubang batu bata yang
tertinggal belum diselesaikan) yang berada di dinding samping rumah tersebut,
lalu manusia mengelilinginya dan mereka terkagum-kagum sambil berkata;
‘Seandainya ada orang yang meletakkan labinah (batu bata) di tempatnya ini”.
Beliau bersabda: ”Maka akulah labinah itu dan aku adalah penutup para Nabi”.[1]
Rasulullah Saw mampu menciptakan bangsa
Arab menjadi satu masyarakat yang memikul risalah, menciptakan peradaban dan
membuat suatu sejarah yang mengagumkan. Kerja keras,
cinta dan kesungguhannya dalam berdakwah berhasil memalingkan pandangan dunia
dan menorehkan catatan gemilang dari bangkitnya sebuah generasi ummat yang
kuat.
Beliau palingkan khamr, maisir, nafsu syahwat dan nafsu
perang demi kekuasaan kepada kerja keras mambangun peradaban yang modern,
berkeadilan, kesamaan hak didepan hukum, terjaminnya kepemilikan pribadi dan
teraturnya kepentingan bersama. Bahkan orang-orang tertindas itu (yaitu para
sahabat) ketika tiba masa mereka menjadi gubernur atau kepala daerah tidak
mewarisi dendam kesewenangan atas kekuasaan dan keserakahan atas jabatan.[2]
Sebagai agama yang menjadi rahmatan lil ‘alamin, maka tujuan hidup, baik sebagai individu
maupun anggota masyarakat adalah dalam rangka merealisasikan kebenaran ajaran
Allah tersebut baik dalam skala pribadi maupun bermasyarakat. Kepribadian Muslim dapat dilihat dari kepribadian orang per
orang (individu) dan kepribadian dalam kelompok masyarakat. Kepribadian
individu meliputi ciri khas seseorang dalam sikap dan tingkahlaku, serta kemampuan intelaktual yang dimilikinya.
Karena adanya unsur kepribadian yang dimiliki masing-masing, maka sebagai
individu seorang Muslim akan menampilkan ciri khasnya masing-masing.
2.
Hakikat Kepribadian Muslim
Menurut Kohnstamm, Tuhan merupakan
pribadi yang menguasai alam semesta. Dengan kata lain kepribadian sama artinya
dengan teistis (keyakinan). Orang yang berkepribadian menurutnya ialah orang
yang berkeyakinan ketuhanan, sehingga dalam pandangan filsafat kepribadian
diidentikkan dengan kepercayaan terhadap Tuhan dan keagamaannya.[3] Maka yang
dinamakan kepribadian muslim adalah susunan dan kesatuan unsur-unsur akal dan
jiwa seorang muslim yang terkait erat dengan keyakinannya kepada Tuhannya
sehingga menentukan tingkah laku atau tindakan dari tiap-tiap orang muslim
tersebut.[4]
Pembentukan
kepribadian muslim sebagai individu sebagai dasarnya diarahkan kepada
pembentukan pandangan hidup yang mantap yang didasarkan pada nilai-nilai
keislaman. Dengan demikian setiap pribadi muslim diharapkan akan memiliki
pandangan hidup yang sama, walaupun masing-masing mempunyai faktor yang
berbeda dengan adanya pandangan hidup
yang sama, diharapkan perbedaan individu seperti bakat, kemampuan intelektual,
sikap mental dan sebagainya akan dapat disesuaikan dengan pandangan hidup yang diyakini
sebagai suatu yang benar.
Abdullah al-Darraz membagi kegiatan
pembentukan itu menjadi empat tahap, meliputi; pembentukan nilai-nilai islam
dalam keluarga, pembentukan nilai-nilai islam dalam hubungan sosial,
pembentukan nilai-nilai islam dalam kehidupan berbangsa, pembentukan
nilai-nilai dalam hubungan dengan tuhan.[5]
3.
Hakikat Masyarakat dan Ummat
Secara sederhana, masyarakat
didefinisikan sebagai kumpulan individu atau kelompok yang di ikat oleh
kesatuan Negara, kebudayaan dan agama. Di dalamnya termasuk segala jalinan
hubungan yang timbal balik yang berangkat atas kepentingan bersama, adat
kebiasaan, pola-pola teknik-teknik, sistem hidup, undang undang, institusi dan
segala segi fenomena yang dirangkum oleh masyarakat dalam pengertian luas dan
baru.[6]
Masyarakat adalah suatu sistem dari
kebiasaan dan tatacara, wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan
penggolongan, pegawasan tingkah laku serta kebebasan manusia.[7] Masyarakat
adalah setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama,
sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai
satu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.[8] Sementara itu Selo
Seomardjan memandang masyarakat sebagai orang-orang yang hidup bersama-sama,
yang menghasilkan sebuah kebudayaan.[9]
Dari beberapa definisi tersebut maka
dapat diambil disimpulkan bahwa masyarakat merupakan sekumpulan pribadi dan
kelompok yang hidup bersama, bercampur dan bergaul cukup lama, dalam satu
kesatuan yang utuh, mereka sadar bahwa sistem kehidupan bersama menimbulkan
sebuah kebudayaan tersendiri sehingga mereka merasa adanya keterikatan di
antara mereka, dan mereka hidup dalam aturan yang jelas dan disepakati bersama.
Dalam pandangan Islam, masyarakat mempuyai
sikap dan ciri tertentu yang dapat membedakannya dari masyarakat lain.[10] Komunitas
masyarakat tersebut dapat dilihat pada komunitas yang ditampilkan pada zaman Rasulullah
Saw (Madinah Al-Munawaroh) dan Khilafah Rasyidah. Dimana pada masa itu
masyarakat tersebut adalah masyarakat yang teratur rapi, aman, makmur, adil,
dan bahagia yang meliputi seluruh ummat (muslim, yahudi dan nasrani). Kehidupan
komunitas masyarakat dalam Islam menerapkan ajaran Islam dalam seluruh aspek
kehidupan seperti dalam akidah, ibadah,
akhlaq, undang-undang dan sistem pemerintahan.
4.
Membentuk Pribadi Muslim dalam Masyarakat
Kehidupan dalam masyarakat memiliki banyak warna kehidupan
yang berbeda. Dan manusia harus memiliki idealisme untuk saling menghargai
perbedaan yang ada, karena hanya jalan seperti itulah harmoni kehidupan
bermasyarakat akan benar-benar terjaga. Karena sepenting rasa butuhnya pada
orang lain, sepenting itu pula menumbuhkan perasaan aman dalam kebersamaan
hidup. Karena diri manusia tidak bisa hidup tanpa eksistensi orang lain.
Al-Qur'an telah menegaskan bahwa manusia adalah makhluk pilihan
Tuhan. Manusia dalam kehidupannya di dunia harus menjalin dua hubungan
seerat-eratnya. Yaitu hubungan dengan Allah dan dengan sesama. Hubungan itu
harus dijaga dengan simultan tanpa mengutamakan satu atas lainnya. Agama dengan
aturan-aturannya mempunyai wilayah cukup kompleks yang mengatur segala aspek
kehidupan manusia. Agama memberikan tuntunan bagaimana manusia berinteraksi
dengan penciptanya, bagaimana berinteraksi dengan sesama manusia, bagaimana
berinteraksi dengan makhluk hidup lainnya dan bagaimana harus berinteraksi
dengan alam dan lingkungannya. Tuntunan tersebut pada akhirnya ditujukan untuk
kemaslahatan dan kebaikan bagi manusia itu sendiri. Atau dengan perkataan lain,
bahwa pelanggaran terhadap tuntunan-tuntunan tersebut sebenarnya dampaknya akan
dirasakan manusia pula.[11]
Langkah Rasulullah Saw
membuat perjanjian dengan kalangan Yahudi agar mereka sebagai warga masyarakat
ikut menjaga keutuhan Madinah dan menjaga keutuhan bersama. Perjanjian itu
selanjutnya disebut "Piagam Madinah" yang ditulis sebelum perang Badar,
seperti diungkapkan oleh Abu Ubaid (Al Amwal No. 518). Perjanjian tersebut
berisi: Muqadimah, Bab Pembentukan Ummat, Bab Hak Asasi Manusia, Bab Persatuan
Seagama, Bab Persatuan Segenap Warga Negara, Bab Golongan Minoritas, Bab Tugas
Warga Negara, Bab Melindungi Negara, Bab Pemimpin Negara, Bab Politik
Perdamaian, dan Penutup.[12]
Menurut
Quraish Shihab dasar pembentukan masyarakat dalam islam antara lain: (a)
manusia adalah makhluk sosial yang secara fitrah ingin bersama dan membutuhkan
orang lain sepanjang hidupnya. Kata al-alaq dalam surat al-alaq bukan saja
segumpal darah atau sesuatu yang menempel di dinding rahim, tetapi juga
dipahami sebagai diciptakan di dinding dalam keadaan tergantung pada pihak lain
atau tidak dapat hidup sendiri, (b) manusia saling membutuhakan satu sama lain.
Karena allah menciptakan manusia memang
tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Manusia memang tidak sama
kecerdasannya, kemampuan, status sosialnya, dan perbedaan lainnya. [13]
Agama Islam sangat memahami
apa yang diinginkan oleh setiap individu muslim dalam masyarakatnya, karena itu
persoalan perdamaian menjadi porsi penting dalam ajaran agama. Untuk mewujudkan
perdamaian, setiap individu muslim harus disadarkan adanya perbedaan-perbedaan
yang tak mungkin dihindari. Perbedaan adalah sesuatu yang alamiah, sesuatu yang
kodrati dan tidak mungkin ditiadakan. Peniadaan hanya akan memunculkan konflik.
Konflik inilah yang menjadi ancaman besar bagi perdamaian. Kemunculan
konflik sesungguhnya bermula dari ketidakmampuan seseorang menerima sesuatu
yang berbeda dengan dirinya. Perbedaan tersebut bermacam-macam, mulai dari
perbedaan keyakinan sampai ke warna kulit, asal suku dan golongan, juga adat
dan kebiasaan. Ada oknum indiviu yang berkehendak membuat semua orang seperti
dirinya, karenanya jika ada oranglain yang berbeda maka oknum ini pun lantas
mengambil sikap berkonfrontasi, disinilah pemicu terjadinya konflik di dalam
masyarakat yang majemuk (plural).[14]
Agama Islam jelas menolak
itu, perbedaan bukanlah kehendak manusia, upaya menjadikan semua orang sama
adalah perbuatan sia-sia bahkan mengancam sisi kemanusiaan itu sendiri. Di
dalam agama Islam gagasan tentang perdamaian merupakan pemikiran yang sangat
mendasar dan mendalam karena berkaitan dengan watak agama Islam. Semua tatanan
Islam bertitik tolak dari pemikiran tersebut. Semua pengarahan dan penetapan
hukum Islam bertemu dengan pemikiran tersebut.
Allah Swt berfirman dalam
Al-Qur’an:
Hai manusia, Sesungguhnya kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13).
Dengan firman tersebut Allah
Swt mengajarka kepada setiap individu muslim untuk menghilangkan sebab-sebab
yang memungkinkan terjadinya pemusuhan. Perbedaan ras, suku, bangsa dan bahasa
serta budaya, sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menghadirkan
konflik. Dalam ayat di atas telah jelas bahwa jaminan Allah mengarahkan manusia
untuk saling mengenal dan hidup rukun bukan saling membunuh dan saling
bertentangan.[15]
Islam mengajarkan kepada
setiap muslim untuk menanamkan benih keteduhan di dalam lubuk hati dan jiwa
yang sedalam-dalamnya, dan menebarkan kasih sayang yaitu kecintaan manusiawi
yang murni dan tulus.
Dan jika mereka condong
kepada perdamaian, Maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah.
Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Anfal: 61)
Pada sisi lainnya, agama
Islam menyerukan kepada umatnya agar menjauhi prilaku-prilaku tak terpuji yang
bisa mengancam terwujudnya kedamiaan di bumi. Dan pada gilirannya akan
melahirkan rasa tidak aman di hati masyarakat. Menghasut dan menebarkan permusuhan.
Mendorong dan menciptakan kekacauan adalah perbuatan yang dibenci oleh agama.
"Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan
teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan
mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan
bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam)". (QS. Al-Rad
[13]; 25)
Menurut Mustafa Abdul Wahid, dasar-dasar
pembentukan masyarakat islam adalah persaudaraan, kasih sayang, persamaan,
kebebasan, dan keadilan sosial. Masyarakat yang dibina atas dasar persaudaraan yang kokoh
atas prinsip-prinpsi kemanusiaan dan keyakinannya, rasa kasih sayang antara
satu sama lain, mempuyai hak dan kewajiban yang sama, mempuyai kebebasan atau
kemerdekaan, dan dibina atas dasar berkeadilan sosial, yaitu keadilan yang
merata bagi seluruh komponen dalam masyarakat.[16]
Dengan dasar tersebut, Rasulullah Saw
mampu membina masyarakatnya secara bijaksana, bahkan beliau memberikan contoh
keteladanan dalam semua aspek kehidupannya. Dengan pendekatan tersebut,
menjadikannya kepemimpinanya sukses dalam mengantarkan umat sebagai masyarakat
yang madani. Hal ini terbukti setelah beliau membina masyarakat bertahun-tahun,
masyarakat damai, aman, dan makmur.
5.
Pembentukan kepribadian muslim sebagai
ummat
Pembentukan
kepribadian muslim merupakan pembentukan kepribadian yang diarahkan pada
peningkatan dan pengembangan faktor dasar (dasar) dan faktor ajar (lingkungan),
dengan berpedoman kepada nilai-nilai keislaman.[17]
Faktor dasar di kembangkan dan ditingkatkan dasar kemampuannya melalui
bimbingan dan pembiasaan berpikir, bersikap dan bertingkah laku menurut
norma-norma Islam. Seperti contoh teladan, nasihat, anjuran, ganjaran, pembiasaan, hukuman, dan pembentukan lingkungan serasi.
Pada periode madinah,
langkah pertama yang dilakukan oleh Rasulullah saw. adalah membangun masjid
sebagai pusat kegiatan dan pertemuan umat Islam. Kemudian, langkah hijrah ke
Madinah ini resmi dilarang oleh Rasulullah saw. tahun ke-8 setelah kaum
Muslimin berhasil menaklukkan Makkah. Beliau bersabda, "Tidak ada hijrah
setelah Fattu Makkah, tetapi jihad dan niat. Apabila kalian diperintahkan
perang, berperanglah." (HR Bukhari).
Rasulullah saw. menempatkan
penduduk Madinah menjadi tiga bagian. Pertama adalah kelompok kaum Mukminin
yang terdiri dari kaum Anshar dan Muhajirin, kedua kelompok munafikin, yaitu
mereka yang ragu-ragu terhadap Islam dan terkadang cenderung kepada musuh Islam
(hipokrit), dan kelompok yang ketiga adalah Yahudi.
Untuk memperkokoh
persatuan dan kesatuan, kelompok kaum Mukminin dipersaudarakan atas dasar
aqidah yang intinya adalah kasih sayang dan kerja sama. Dengan cara itu, mereka
semakin kokoh karena tidak ada lagi perbedaan antara pendatang (Muhajirin) dan
pribumi (Anshar). Bahkan, ikatan mereka melebihi ikatan kekeluargaan. Sehingga,
Al-Qur'an menggambarkan bahwa: "Mereka (kaum Anshar) mengutamakan (kaum
Muhajirin) atas diri mereka, sekalipun mereka membutuhkan apa yang mereka
berikan itu." (Al-Hasyr: 9). "Sesungguhnya orang-orang Mu'min adalah
bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada
Allah supaya kamu mendapat rahmat." (Al-Hujurat: 10).
Masyarakat muslim yang memiliki kesamaan akidah
disebut Ummat, individu muslim merupakan unsur dalam kehidupan masyarakat, maka
dengan membentuk kesatuan pandangan hidup pada setiap individu muslim
diharapkan akan ikut mempengaruhi sikap dan pandangan hidup dalam masyarakat,
bangsa dan ummat. Kesatuan pandangan hidup yang diyakini ini akan membantu usaha membina
hubungan baik dan serasi antar sesama anggota masyarakat, bangsa, maupun antar
sesama manusia sebagai suatu ummat. Adapun pedoman untuk mewujudkan pembentukan
hubungan itu secara garis besarnya terdiri atas tiga macam usaha, yakni: (1) memperkuat
aqidah ummat Islam, (2) melakukan perbaikan diri dan berdakwah , (3) menjadikan
Islam sebagai dasar hubungan antar pribadi dalam tubuh ummat.[18]
a.
Memperkuat Aqidah Ummat
Menurut
Sayyid Quthb, dalam setiap periode sejarah manusia seruan untuk bertakwa kepada
Allah memiliki satu sifat kesamaan, yang menjadi seruan terpenting sekaligus
landasan pokok pembentukan masyarakat, yaitu:
Ketundukan seorang
hamba kepada tuhannya, membebaskan diri dari penghambaan atas sesama manusia
menuju penghambaan kepada Allah semata. Mengeluarkan mereka dari cengkraman
ketuhanan dan hukum-hukum buatan manusia, mengeluarkan mereka dari kungkungan
sistem-sistem nilai dan tradisi-tradisi buatan manusia kepada kekuasaan Allah,
otoritas dan syari’at-Nya semata dalam segala ruang lingkup kehidupan.[19]
Dari pendapat Sayyid Quthb
tersebut diatas dapat kita fahami bahwa pembebasan masyarakat dari penghambaan
kepada selain Allah merupakan prinsip dari sebuah komitmen awal yang pada tahap
selanjutnya menjadi dasar bagi tegaknya sistem nilai, otoritas dan syari’at
Allah. Ketauhidan difahami sebagai
sebuah pondasi bagi tegaknya bangunan Islam, atau ruh kehidupan bagi manusia.
Dengannya tauhid seluruh sistem kehidupan menjadi tegak, kokoh dan memberikan
arti.
Menurut Muhammad Quthb :
Sesungguhnya Allah tidak menurunkan kalimat la ilaha illallah
hanya untuk sekedar diucapkan oleh lisan belaka. Tetapi agar kalimat itu
berpengaruh dalam kehidupan nyata ummat manusia dan mengangkatnya ke tempat
yang layak sesuai dengan kemuliaan yang Allah berikan kepada mereka… kalimat
ini membimbing individu, kelompok dan ummat agar menjadi suatu masyarakat yang
berguna sesuai dengan keinginan Allah.[20]
Demikianlah komitmen
ketauhidan, ia tidak sekedar mengatur hubungan individu secara vertikal kepada
Allah ta’ala, melainkan juga mencakup hubungan horizontal dengan sesama manusia
dan seluruh makhluk, dan hubungan-hubungan ini harus sesuai dengan kehendak
Allah. Amin Rais berpendapat bahwa: “Allah berkehendak
memberikan visi kepada manusia tauhid untuk membentuk suatu masyarakat yang
mengejar nilai-nilai utama dan mengusahakan tegaknya keadilan sosial. Pada
gilirannya visi ini memberikan inspirasi bagi manusia-manusia tauhid untuk
mengubah dunia sekelilingnya sesuai dengan kehendak Allah”[21]
Pembebasan masyarakat dari
penghambaan kepada selain Allah akan membawa perubahan besar kearah kemajuan
masyarakat. Hal ini dikarenakan pandangan hidup tauhid tidak mempertentangkan
antara dunia dan akhirat. Bahkan konsep Islam tentang hal-hal tersebut di atas
sangat jelas dan rasional. Berbeda dengan keyakinan lain selain tauhid. Pembebasan masyarakat dari penghambaan kepada
selain Allah berfungsi mentransformasikan masyarakat menjadi memiliki
sifat-sifat yang mulia yang terbebas dari belenggu ideologi, sosial, politik,
ekonomi dan budaya yang bertentangan dengan ketauhidan.
b.
Melakukan Perbaikan Diri dan Berdakwah.
Sayyid Quthb menyatakan
bahwa Ummat Islam tidak tidak dapat hadir secara sederhana dalam menegakkan kaidah-kaidah
keyakinan (syahadat) dalam hati individu-individu muslim sebanyak apapun jumlah
mereka, tanpa mereka menjadi sebuah kelimpok yang aktif, serasi dan
bekerjasama dan bekerja di bawah kepemimpinan sendiri terbebas dari
kepemimpinan jahiliyyah.[22]
Upaya ini merupakan pergerakan
yang konstruktif yang memindahkan unsur keyakinan kepada perilaku praktis.
Tentu saja hal ini tidak akan terwujud hanya dengan penjelasan lisan atau
tabligh semata melainkan juga melalui pewarisan nilai-nilai atau yang dikenal
dengan pendidikan dan pembinaan. Hasan al-Banna menyebut proses ini sebagai pembentukan
dan penempatan para juru da’wah Islam, mengordinasikan
serta menggerakkannya untuk menjalin hubungan dengan masyarakat luas sebagai
objek dakwah.[23]
Allah Swt mensifati mereka
yang bekerjasama dalam menyeru kepada kebaikan sebagai khairu ummah. Allah
berfirman dalam Surat Ali Imran: 104, sebagai berikut:
Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang
mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik.
Miqdad Yaljun menguraikan
bahwa masyarakat terbaik atau khairu ummah memiliki berdasarkan
karakteristiknya yaitu, Pertama, Masyarakat yang senantiasa memiliki semangat
meyebarkan kebaikan. Kedua, masyarakat yang memilki semangat ukhuwwah
insaniyyah. Ketiga, masyarakat yang senantiasa memperluas persatuan dan
kekuatan. Keempat, masyarakat yang berorientasi kepada kemaslahatan bersama.
Kelima, masyarakat yang memiliki semangat tunduk pada peraturan. Keenam,
masyarakat yang semangat meraih kemajuan di berbagai bidang.[24]
Dalam perspektif Sayyid
Quthb, pembentukan pribadi muslim melalui dakwah tidak mesti harus melalui
podium-podium resmi (formalistik), namun dakwah hendaknya merayap secara masif
melalui keluhuran akhlaq setiap da’inya. Senantiasa berwajah ceria, memuliakan
tetangga, menghormati yang tua, menyayangi yang muda, menutup aib saudaranya,
meringankan beban orang lain, dsb adalah gerakan da’wah indah yang merayap
perlahan namun masif.
c.
Menjadikan Islam sebagai Landasan Prilaku Individu dan
Hubungan Antar sesama dalam Masyarakat.
Sayyid Quthb menuliskan
dalam Ma’alim fith Thariq, bahwa di atas
kaidah dan manhaj Islam masyarakat ditegakkan, menjadi landasan bagi
hubungan-hubungan antar individu-individu dalam kelompok dan terikat atas
aqidah ini. Tidak lain tujuan utamanya adalah membangkitkan semangat
kemanusiaan bagi manusia, mengembangkan, membuatnya menjadi kokoh, dan menjadi
faktor yang paling berpengaruh diantara semua aspek dalam kehidupan manusia.[25]
Usaha ini merupakan upaya
yang progresif bagi soliditas masyarakat Islam. Berdasarkan nilai-nilai Islam,
mereka selalu melakukan penilaian terhadap kualitas kehidupannya, etika,
tradisi dan faham hidupnya. Tujuan hidupnya sangat jelas, ibadah, kerja keras
dan bahkan jiwanya ditujukan kepada Allah. Sehingga setiap individu dalam
masyarakat Islam tidak akan pernah terjerat pada nilai-nilai palsu atau bekerja
tanpa nilai yang hakiki yaitu mencari keridhaan Allah.
Mengembalikan setiap
individu muslim kepada kemurnian pemahaman, ibadah serta nilai-nilai perjuangan
adalah jalan yang seharusnya ditempuh oleh masyarakat muslim, terutama untuk
kalangan pendidik dan juru dakwah. Al-Qur’an dan Sunnah merupakan dua pusaka Rasulullah Saw yang
harus selalu dirujuk oleh setiap muslim dalam segala aspek kehidupan. Satu dari
sekian aspek kehidupan yang amat penting adalah pembentukan dan pengembangan
pribadi muslim. Pribadi muslim yang dikehendaki oleh Al-Qur’an dan sunnah
adalah pribadi yang shaleh, pribadi yang sikap, ucapan dan tindakannya
terwarnai oleh nilai-nilai yang datang dari Allah Swt.[26]
Hilangnya ashobiyah, tidak
ada dosa warisan dan setiap orang bertanggung jawab terhadap amal
masing-masing, perintah taat hanya pada kebenaran memberikan batasan yang jelas
dan lugas akan posisi kemuliaan dalam Islam. Bahwa kemuliaan dalam Islam
bukanlah karena nasab, dan dapat diraih dengan upaya normal manusia serta
kemuliaan diukur dengan ketakwaan menginspirasi semangat ibadah dan
pengorbanan. Maka hubungan dalam masyarakat Islam bukanlah hubungan bangsa
melainkan suatu ummat dari keyakinan, masyarakat terbentuk di atas satu pijakan
yang sama dalam hubungan kasih sayang dimana ikatan tersebut terbentuk karena
kekuatan hubungan mereka kepada Allah.
Menjadikan Islam sebagai
landasan prilaku dan hubungan dalam masyarakat juga menjamin terciptanya
masyarakat yang berkeadilan secara mutlak. Perlindungan harta dan kehormatan,
jaminan keamanan serta kesamaan di hadapan hukum adalah bukti pencapaian yang
tinggi dari syari’at Islam.
6.
Penutup
Membentuk kepribadian muslim
dalam masyarakat dan sebagai ummat harus direalisasikan sesuai Qur’an dan
Sunnah sebagai identitas kemuslimannya, dan Realisasi dari pembinaan tersebut adalah
menciptakan hubungan yang baik kepada Allah atas dasari cinta kepada-Nya.
Puncaknya adalah menempatkan rasa cinta Allah dan kepada Rasul-Nya. Dengan
menerapkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya di atas segalanya, diharapkan
kepribadian Muslim sebagai individu maupun sebagai ummah akan membuahkan sikap
untuk lebih mendahulukan kepentingan melaksanakan perintah khalikNya dari
kepentingan lain.
Pembentukan kepibadian Muslim sebagai individu, keluarga,
masyarakat, maupun ummah pada hakikatnya berjalan seiring dan menuju ketujuan
yang sama. Tujuan utamanya adalah guna merealisasikan diri, baik secara pribadi
(individu) maupun secara komunitas (ummah) untuk menjadi pengabdi Allah yang
setia. Pada tingkat ini terlihat bahwa filsafat pendidikan Islam memiliki sifat
yang mendasar (sejalan dengan fitrah), universal (umum) dan terarah pada tujuan
yang didasarkan atas konsep yang jelas dan benar adanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abror Sodik, 2003. Peta
Kerukunan Umat beragama Propinsi Jawa Tengah, Riuh di Beranda satu,
Jakarta: Puslitbang Depag.
Alwisol, 2005. Psikologi Kepribadian,
Malang: UMM Press
Bukhari, 1422 H, Shahih
al Bukhari, Beirut : Daar Thuq an Najah
Hasan al Banna, tt, Majmu’ah Rasail
al Imam Hasan al Banna, Mesir: Daar ad Da’wah
Jalaluddin, 2001. Teologi Pendidikan.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, cet. 1
Miqdad Yaljun, 2011, Peranan
Pendidikan Akhlaq Islam dalam Pembentukan Individu, Masyarakat dan Peradaban
manusia, terjemahan Dr. Azra’ie Zakaria, MA. LP2M Universitas Islam Asy
Stafi’iyyah.
Muhammad Amin Rais, 1987, Cakrawala
Islam antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan
Muhammad Quthb, 1413 H, La Ilaha
Ilallah Aqidatun wa Syari’atun wa Minhaju Hayatin, Mesir: Darul Wathan.
Ramayulis & Samsul Nizar. 2011. Filsafat
Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya.
Jakarta: Kalam Mulia, cet. 3
Sayyid Quthb, tt, Ma’alim fi
athThariq, Beirut: Daar asy Syuruq.
Umar Shihab, Ketulusan
Beragama, Agama Di tengah Kemelut, Komaruddin Hidayat et. Al, Jakarta :
Mediaciita
Yusuf Qardhawi, 1997. Sistem Masyarakat
Islam Berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Solo: Citra Islami Press, 1997.
[1] Bukhari, 1422 H, Shahih
al Bukhari, Beirut : Daar Thuq an Najah , 4/186, hadits no.3535.
[2] Sayyid Quthb, tt, Ma’alim fi athThariq, Beirut: Daar
asy Syuruq, h. 46.
[3] Alwisol, Psikologi Kepribadian, (Malang: UMM
Press,2005), h. 8
[4] Ibid, h. 24
[6] Ramayulis & Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam:
Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta, Kalam
Mulia, 2011), cet. 3, hlm. 65
[10] Ibid,
[11] Umar Shihab, Ketulusan
Beragama, Agama Di tengah Kemelut, Komaruddin Hidayat et. Al, (Jakarta :
Mediaciita, 20001 ), h. 28
[14] Abror Sodik, Peta Kerukunan
Umat beragama Propinsi Jawa Tengah, Riuh di Beranda satu, (Jakarta :
Puslitbang Depag, 2003), h.128
[15] Sayyid Qutub, Islam dan
Perdamaiaan Dunia, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1987), h. 13
[16]Ibid,
[17]Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 2001), cet. 1 hlm. 207
[19] Sayyid Quthb, tt, Ma’alim fi athThariq, Beirut: Daar asy
Syuruq, h. 46
[20] Muhammad Quthb, 1413 H, La Ilaha Ilallah Aqidatun wa
Syari’atun wa Minhaju Hayatin, Mesir: Darul Wathan, h.18.
[21] Muhammad Amin Rais, 1987, Cakrawala Islam antara Cita dan
Fakta, Bandung: Mizan, h.15
[22] Sayyid Quthb, op.cit, h.51
[23] Hasan al Banna, tt, Majmu’ah Rasail al Imam Hasan al
Banna, Mesir : Daar ad Da’wah, h. 134.
[24]Miqdad Yaljun, 2011, Peranan Pendidikan Akhlaq Islam dalam
Pembentukan Individu, Masyarakat dan Peradaban manusia, terjemahan Dr.
Azra’ie Zakaria, MA. LP2M Universitas Islam Asy Stafi’iyyah, h.87
[25] Sayyid Quthb, loc.cit.
[26] Yusuf Qardhawi, Sistem Masyarakat Islam Berdasarkan
Al-Qur’an dan Sunnah (Solo: Citra Islami Press, 1997).
Sip, setuju bangetssss
BalasHapus